Minggu, 09 Agustus 2015

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL URGEN BAGI KEBERADABAN BARU

Jeff Weiss seorang remaja Amerika Serikat berumur 17 tahun mengamuk dan menembak di sebuah SMU. Akibatnya 9 orang tewas dan 14 orang lainnya cedera, setelah terlebih dahulu menembak mati kakeknya dan pasangan kakeknya ( Kompas, 23 Maret 2005 ). Realitas ini mengungkapkan pribadi Jeff Weis yang kehilangan pegangan hidup, merasa tidak dihargai dan tidak dihormati.
Kesimpulan ini didukung oleh fakta-fakta yang kuat. Pertama, empat tahun lalu ayahnya bunuh diri. Ibunya tinggal di sebuah rumah perawatan setelah menderita cedera otak karena kecelakaan ( kehilangan pegangan hidup ). Kedua, ia sering menyendiri dan kerap diganggu  oleh anak-anak lain ( tidak mendapat apresiasi dari orang lain ), meskipun tidak ada penjelasan mengapa Jeff Weis mengamuk, namun kita mendapat gambaran bahwa agresifitas erat kaitannya dengan mandulnya orang dalam mengelola kehidupan. Kehadiran orang lain beserta keunikan, keberbedaan atau pluralitas dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.
                Pada sisi lain, pribadi yang gagal dalam memahami karakter hidup, latar belakang hidup, keluarga, budaya orang lain juga sering bersikap merendahkan orang lain. Kenyataan asosial seperti yang digambarkan ini tampil juga dalam bentuk lain di Indonesia. Peristiwa adu jotos antaranggota DPR dalam sidang terbuka DPR, 16 Maret 2005 memperlihatkan betapa anggota DPR tidak bisa tampil dewasa. Mereka gagal dalam menggungkapkan perbedaan pendapat, pandangan, secara asertif. Yang terjadi adalah menyerang lawan bicara dengan kata-kata kasar, bernada mnyalahkan bahkan dengan kekerasan fisik.
                Dalam konteks berbangsa agresivitas, kekerasan, mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Peristiwa kekerasan yang terjadi di Kupang, Sampit, Ambon, Poso, Aceh adalah buktinya. Penindasan terhadap orang lain demi keuntungn diri sendiripun menyusul di dalamnya cara-cara kekerasan menjadi pirantinya. Agama sering menjadi kedok untuk menolak kehadiran orang lain, menganggap agamanya paling benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat, dan harus diancam hak hidupnya. Pada titik ini betapa membangun Indonesia Baru melalui pendidikan multikultural menjadi urgen untuk dikedepankan agar keadapan hidup berbangsa dapat tumbuh mekar.
                Pendidikan multikultural memaksudkan sebuah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dn toleran terhadap keanekaragaman budaya, agama, yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. ( Introduction to multicultureal education, ed. Boston; Allyn & Bacon 2002 ). Pendidikan multikultural senantiasa mengedepankan pengagungan keanekaragaman, keterbukaan, kesamaan dan pluralitas yang meliputi sikap penghargaan, menjunjung tinggi HAM dan secara khusus berhubungan dengan kebudayaan, agama,etnik dan jender serta identitas sosial.
                Melaui pendidikan multikultural diharapkan tumbuh kesadaran dan kedewasaan pada setiap insan terdidik dalam menghadapi masyarakat majemuk dan benturan konflik sosial. Dalam konteks pendidikan di sekolah, keanekaragaman latar belakang budaya, agama, keluarga dan lingkungan yang strategis untuk mengelola kemajemukan secara kreatif sehngga konflik yang muncul sebagai dampak dari perubahan sosial dapat dikelola secara nalar dalam zona pendidikan di sekolah.
Pendidikan Multikultural , Suatu Proses
                Keberagaman budaya, agama, etnik dan pluralitas di dalam masyarakat belum dipahami secara memadai. Artinya aneka pertimbangan tentang multi budaya belum masuk dalam penalaran anak didik dan pendidik. Alih-alih aneka tindakan kekerasan, agresivitas, penegasian terhadap orang, seperti halnya terjadi pada pribadi Jeff Weis dan anggota DPR merupakan buktinya. Insan mengalami kesulitan menerima, apalagi menghargai perbedaan pendapat, pandangan, serta pluralitas di dalam masyarakat dengan aneka keunikan budaya. Persoalan ini coba dijawab dengan pendidikan multiultural.
                Pendidikan multikultural harus dipahami pertama-tama sebagai “ suatu proses “ dan bukannya sebuah program. Proses “ menjadi “ artinya proses berkelanjutan, proses belajar yang tidak pernah selesai berjalan terus sepanjang beradaban pendidikan dan hidup manusia ( life long learning ). Peserta didik menyediakan instrumen dan pengalaman dengan kesediaan untuk memahami, mengerti serta mengakui latar belakang dari semua pribadi dengan corak kebudayaan, agama, etniknya masing-masing, sehingga ia mampu mengaplikasikannya dalam masyarakat di mana ia berada.
                Dalam hal ini, pendidikan multikultural mensyaratkan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik di saat guru dan dan seluruh tenaga pendidik berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa tumbuh aneka pengalaman dan kesadaran kolektif dan peserta didik yang kelak menjadi dasar etika kewarganegaraan yang hidup di dalam masyarakat. Meminjam ungkapan Freire, dialogisme merupakan tuntutan kodrat manusia, syarat strategis dan juga tanda sikap demokratis pendidik. ( Paulo Freire, Pedagogi Hati, Kanisius, 2001 ).
                Pendidikan multikultural didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada setiap orang dan masyarakat. Alih-alih dialog mendapat ruang utama dalam proses pembelajaran. Kelas disusun dengan anggota kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, bangsa dan nasionalitas, melampui teritori teologi keagamaan dari tiap agama yang berbeda.
                Guru harus memulai mewujudkan bahwa pendidikan multikultural dapat menguntungkan semua insan peserta didik. Jika pendidikan multikultural sebagai proses dapat membantu peserta didik memahami  tempatnya di dalam lingkungan dan masyarakatnya, maka salah satu tujuan dari pendidikan tercapai. Karena tujuan pendidikan multikultural ialah mendorong sikap peserta didik menjadi sadar akan kebudayaannya, memiliki pemahaman yang holistik dan mampu mengapresiasi kebudayaan lain, berpartisipasi di dalam suatu kebudayaan atau lebih dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.
Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural
                Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menyentuh kontekstualisasi kehidupan manusia Indonesia. Kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku, budaya, agama, identitas, sejarah lingkungan dan pengalaman hidup yang unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan otentik tiap manusia daripada kesamaannya. Sudah saatnya kegiatan belajar mengajar ditujukan agar peserta didik tidak hanya mengusai materi ilmu atau nilai, tetapi mengalami sendiri proses berilmu dan hidup dalm kebersamaan di ruang kelas dan sekolah.
                Untuk ini, guru tidak lagi ditempatkan sebagai aktor tunggal terpenting sebagai kamus berjalan yang serba tahu dan serba bisa. Guru yang efisien dan produktif ialah jika ia bisa menciptakan situasi sehingga setiap peserta didik belajar dengan cara sendiri yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualissikan diri masing-masing. Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap peserta didik menemukan dan mengalami situasi beriptek dan berkehidupan otentik. Guru tidak lagi sebagai gudang ilmu dan nilai yang tiap saat siap diberikan kepada peseta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup sebgai warga masyarakatnya.
Globalisasi sebagai tantangan
                Dewasa ini, sistem kapitalisme neo libaral tampil dengan fenomena baru yakni globalisasi. Terminologi globalisasi mendominasi peradaban kehidupan manusia saat ini. Globalisasi pada satu sisi dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi membantu manusia dalam banyak hal. Dunia menjadi sebuah kampung  global. Sehingga membangun komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya dapat terhubung dengan mudah.
                Gagasan tentang kemajuan pun menjadi daya dorong yang kuat bagi terciptanya struktur msyarakat modern yang serba ingin cepat, berkembang dan terus maju sampai seakan-akan tanpa batas lagi. Namun di balik glamournya modernitas tercipta suatu pergeseran kesadaran dalam hati manusia.
                Menurut Antony Giddens ( dalam bukunya “ Run way World. Bagaimana globalisasi merombk kehidupan kita “, 1999 ) dampak dari globalisasi adalah melemahnya tata nilai. Insan kehilangan kesejatian dirinya, dan makna hidupnya. Nilai-nilai kebersamaan, kesetiaan, solidaritas, pengakuan akan martabat manusia, dan penghargaan terhadap pluralitas semakin tereliminasi. Yang ada adalah pemujaan dan penyembahan pada kebebasan individualisme dan kenikmatan. Orang lupa apa yang esensial di dalam masyarakat. Pluralitas dan keanekaragaman budaya serta keunikan masing-masing pribadi terlibas oleh derasnya arus globalisasi.
                Gaya berpikir peserta didik akan dikemas dalam sistem jawaban tunggal. Dan ini memandulkan sikap kekritisan para peserta didik. Pengetahuan dituntut instant, siap pakai, tidak memerlukan penalaran yang rumit. Konsekuensi dalam dunia pendidikan ini apa yang disebut  “ proses “ tidak berlaku lagi. Berhadapan dengan aneka tawaran yang bernuansa instant, imbasnya langsung pada melemahnya etos belajar para peserta didik. Indikasinya adalah kehendak untuk mencari, bertanya, bergulat dan memperdalam pengetahuan semakin memudar.
Sebuah total Pendekatan
Pengembangan pendidikan multikultural ditujukan ke arah terwujudnya suatu peradaban dalam kehidupan bangsa dan masyarakat. Setiap pribadi harus menjadi sadar akan kebudayaan mereka , mempunyai pemahaman yang holistik ( menyeluruh ) dan mampu mengapresiasi kebudayaan lain secara asertif, berpartisipasi di dalam suatu kebudayaan atau lebih dan bertanggung jawab untuk memeliharanya. Untuk mewujudkan peradaban itu maka lingkungan pendidikan harus merefleksikan hakikat pluralistik dan tantangan globalisasi.
                Pola pendekatannya seharusnya utuh dan menyeluruh. Maksudnya suatu perubahan tujuan dan obyek pendidikan. Pendidikan tidak hanya sebatas pada hafalan, sehingga mencetak peserta didik sebagai robot melainkan pendidikan yang langsung menyentuh apa yang hakiki dalam hidup manusia seperti pendidikan hak asasi manusia, pendidikan perkembangan, pendidikan lingkungan hidup pendidikan perdamaian dan pendidikan jender.
                Dengan kata lain pendidikan yang mencakup pendidikan multikultural yakni soal keanekaragaman, keterbukaan, pluralitas, kebudayaan, agama, perbedaan seksual dan identitas pribadi manusia. Pada titik ini pendidikan multikultural menjadi urgen. Keadaban berbangsa akan tampak, bila setiap pribadi semakin dewasa dalam upaya melestarikan pendidikan multikultural. Karena itu pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan pendidikan multikultural.

Daftar pustaka
1.       Antony Giddens,  Run way World. Bagaimana globalisasi merombak kehidupan kita, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999
2.       Boston; Allyn & Bacon.,Introduction to multicultureal education, Boston 2002
3.       Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Analisis Kebudayaan, 1981/1982
4.       Paulo Freire., Pedagogi Hati, Yogyakarta: Kanisius,2001
5.       Paulus Mujiran., Kerikil-kerikil di masa transisi, ( Serpihan Esei Pendidikan, Agama, Politik dan sosial ), Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2003
6.       Harian Surat Kabar, Kompas, 23 Maret 2005



Tidak ada komentar:

Posting Komentar