PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL URGEN BAGI KEBERADABAN BARU
Jeff
Weiss seorang remaja Amerika Serikat berumur 17 tahun mengamuk dan menembak di
sebuah SMU. Akibatnya 9 orang tewas dan 14 orang lainnya cedera, setelah
terlebih dahulu menembak mati kakeknya dan pasangan kakeknya ( Kompas, 23 Maret
2005 ). Realitas ini mengungkapkan pribadi Jeff Weis yang kehilangan pegangan
hidup, merasa tidak dihargai dan tidak dihormati.
Kesimpulan
ini didukung oleh fakta-fakta yang kuat. Pertama, empat tahun lalu ayahnya
bunuh diri. Ibunya tinggal di sebuah rumah perawatan setelah menderita cedera
otak karena kecelakaan ( kehilangan pegangan hidup ). Kedua, ia sering menyendiri
dan kerap diganggu oleh anak-anak lain (
tidak mendapat apresiasi dari orang lain ), meskipun tidak ada penjelasan
mengapa Jeff Weis mengamuk, namun kita mendapat gambaran bahwa agresifitas erat
kaitannya dengan mandulnya orang dalam mengelola kehidupan. Kehadiran orang
lain beserta keunikan, keberbedaan atau pluralitas dianggap sebagai musuh yang
harus disingkirkan.
Pada sisi lain, pribadi yang
gagal dalam memahami karakter hidup, latar belakang hidup, keluarga, budaya
orang lain juga sering bersikap merendahkan orang lain. Kenyataan asosial seperti yang digambarkan ini
tampil juga dalam bentuk lain di Indonesia. Peristiwa adu jotos antaranggota
DPR dalam sidang terbuka DPR, 16 Maret 2005 memperlihatkan betapa anggota DPR
tidak bisa tampil dewasa. Mereka gagal dalam menggungkapkan perbedaan pendapat,
pandangan, secara asertif. Yang terjadi adalah menyerang lawan bicara dengan
kata-kata kasar, bernada mnyalahkan bahkan dengan kekerasan fisik.
Dalam konteks berbangsa
agresivitas, kekerasan, mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Peristiwa
kekerasan yang terjadi di Kupang, Sampit, Ambon, Poso, Aceh adalah buktinya.
Penindasan terhadap orang lain demi keuntungn diri sendiripun menyusul di dalamnya
cara-cara kekerasan menjadi pirantinya. Agama sering menjadi kedok untuk
menolak kehadiran orang lain, menganggap agamanya paling benar dan mempunyai
hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat, dan harus diancam hak
hidupnya. Pada titik ini betapa membangun Indonesia Baru melalui pendidikan
multikultural menjadi urgen untuk dikedepankan agar keadapan hidup berbangsa
dapat tumbuh mekar.
Pendidikan multikultural
memaksudkan sebuah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dn toleran
terhadap keanekaragaman budaya, agama, yang hidup di tengah-tengah masyarakat
plural. ( Introduction to multicultureal
education, ed. Boston; Allyn & Bacon 2002 ). Pendidikan multikultural
senantiasa mengedepankan pengagungan keanekaragaman, keterbukaan, kesamaan dan
pluralitas yang meliputi sikap penghargaan, menjunjung tinggi HAM dan secara
khusus berhubungan dengan kebudayaan, agama,etnik dan jender serta identitas
sosial.
Melaui pendidikan multikultural
diharapkan tumbuh kesadaran dan kedewasaan pada setiap insan terdidik dalam
menghadapi masyarakat majemuk dan benturan konflik sosial. Dalam konteks
pendidikan di sekolah, keanekaragaman latar belakang budaya, agama, keluarga
dan lingkungan yang strategis untuk mengelola kemajemukan secara kreatif
sehngga konflik yang muncul sebagai dampak dari perubahan sosial dapat dikelola
secara nalar dalam zona pendidikan di sekolah.
Pendidikan Multikultural , Suatu Proses
Keberagaman budaya, agama, etnik dan pluralitas di dalam masyarakat
belum dipahami secara memadai. Artinya aneka pertimbangan tentang multi budaya
belum masuk dalam penalaran anak didik dan pendidik. Alih-alih aneka tindakan
kekerasan, agresivitas, penegasian terhadap orang, seperti halnya terjadi pada
pribadi Jeff Weis dan anggota DPR merupakan buktinya. Insan mengalami kesulitan
menerima, apalagi menghargai perbedaan pendapat, pandangan, serta pluralitas di
dalam masyarakat dengan aneka keunikan budaya. Persoalan ini coba dijawab
dengan pendidikan multiultural.
Pendidikan multikultural harus
dipahami pertama-tama sebagai “ suatu
proses “ dan bukannya sebuah program. Proses “ menjadi “ artinya proses berkelanjutan, proses belajar yang tidak
pernah selesai berjalan terus sepanjang beradaban pendidikan dan hidup manusia
( life long learning ). Peserta didik menyediakan instrumen dan pengalaman
dengan kesediaan untuk memahami, mengerti serta mengakui latar belakang dari
semua pribadi dengan corak kebudayaan, agama, etniknya masing-masing, sehingga
ia mampu mengaplikasikannya dalam masyarakat di mana ia berada.
Dalam hal ini, pendidikan
multikultural mensyaratkan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi
arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah
dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik di saat guru
dan dan seluruh tenaga pendidik berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran
dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa
tumbuh aneka pengalaman dan kesadaran kolektif dan peserta didik yang kelak
menjadi dasar etika kewarganegaraan yang hidup di dalam masyarakat. Meminjam
ungkapan Freire, dialogisme
merupakan tuntutan kodrat manusia, syarat strategis dan juga tanda sikap
demokratis pendidik. ( Paulo Freire,
Pedagogi Hati, Kanisius, 2001 ).
Pendidikan multikultural
didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada setiap orang dan
masyarakat. Alih-alih dialog mendapat ruang utama dalam proses pembelajaran.
Kelas disusun dengan anggota kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh
peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di
antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif
melampaui batas teritori kelas, bangsa dan nasionalitas, melampui teritori
teologi keagamaan dari tiap agama yang berbeda.
Guru harus memulai mewujudkan
bahwa pendidikan multikultural dapat menguntungkan semua insan peserta didik.
Jika pendidikan multikultural sebagai proses dapat membantu peserta didik memahami
tempatnya di dalam lingkungan dan
masyarakatnya, maka salah satu tujuan dari pendidikan tercapai. Karena tujuan
pendidikan multikultural ialah mendorong sikap peserta didik menjadi sadar akan
kebudayaannya, memiliki pemahaman yang holistik dan mampu mengapresiasi kebudayaan
lain, berpartisipasi di dalam suatu kebudayaan atau lebih dan bertanggung jawab
untuk memeliharanya.
Kontekstualisasi Pendidikan Multikultural
Dalam konteks Indonesia,
pendidikan multikultural menyentuh kontekstualisasi kehidupan manusia
Indonesia. Kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari
beragam suku, budaya, agama, identitas, sejarah lingkungan dan pengalaman hidup
yang unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan otentik
tiap manusia daripada kesamaannya. Sudah saatnya kegiatan belajar mengajar ditujukan
agar peserta didik tidak hanya mengusai materi ilmu atau nilai, tetapi
mengalami sendiri proses berilmu dan hidup dalm kebersamaan di ruang kelas dan
sekolah.
Untuk ini, guru tidak lagi
ditempatkan sebagai aktor tunggal terpenting sebagai kamus berjalan yang serba
tahu dan serba bisa. Guru yang efisien dan produktif ialah jika ia bisa
menciptakan situasi sehingga setiap peserta didik belajar dengan cara sendiri
yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi
memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualissikan diri masing-masing.
Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap
peserta didik menemukan dan mengalami situasi beriptek dan berkehidupan
otentik. Guru tidak lagi sebagai gudang ilmu dan nilai yang tiap saat siap
diberikan kepada peseta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner
menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun
sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup
sebgai warga masyarakatnya.
Globalisasi sebagai tantangan
Dewasa ini, sistem kapitalisme
neo libaral tampil dengan fenomena baru yakni globalisasi. Terminologi globalisasi
mendominasi peradaban kehidupan manusia saat ini. Globalisasi pada satu sisi
dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi membantu manusia dalam
banyak hal. Dunia menjadi sebuah kampung global. Sehingga membangun komunikasi antara
manusia yang satu dengan yang lainnya dapat terhubung dengan mudah.
Gagasan tentang kemajuan pun
menjadi daya dorong yang kuat bagi terciptanya struktur msyarakat modern yang
serba ingin cepat, berkembang dan terus maju sampai seakan-akan tanpa batas
lagi. Namun di balik glamournya modernitas tercipta suatu pergeseran kesadaran
dalam hati manusia.
Menurut Antony Giddens ( dalam bukunya “ Run way World. Bagaimana globalisasi merombk kehidupan kita “, 1999 ) dampak
dari globalisasi adalah melemahnya tata nilai. Insan kehilangan kesejatian
dirinya, dan makna hidupnya. Nilai-nilai kebersamaan, kesetiaan, solidaritas,
pengakuan akan martabat manusia, dan penghargaan terhadap pluralitas semakin
tereliminasi. Yang ada adalah pemujaan dan penyembahan pada kebebasan individualisme
dan kenikmatan. Orang lupa apa yang esensial di dalam masyarakat. Pluralitas
dan keanekaragaman budaya serta keunikan masing-masing pribadi terlibas oleh
derasnya arus globalisasi.
Gaya berpikir peserta didik akan
dikemas dalam sistem jawaban tunggal. Dan ini memandulkan sikap kekritisan para
peserta didik. Pengetahuan dituntut instant, siap pakai, tidak memerlukan
penalaran yang rumit. Konsekuensi dalam dunia pendidikan ini apa yang
disebut “ proses “ tidak berlaku lagi.
Berhadapan dengan aneka tawaran yang bernuansa instant, imbasnya langsung pada
melemahnya etos belajar para peserta didik. Indikasinya adalah kehendak untuk
mencari, bertanya, bergulat dan memperdalam pengetahuan semakin memudar.
Sebuah total Pendekatan
Pengembangan
pendidikan multikultural ditujukan ke arah terwujudnya suatu peradaban dalam
kehidupan bangsa dan masyarakat. Setiap pribadi harus menjadi sadar akan
kebudayaan mereka , mempunyai pemahaman yang holistik ( menyeluruh ) dan mampu mengapresiasi
kebudayaan lain secara asertif, berpartisipasi di dalam suatu kebudayaan atau
lebih dan bertanggung jawab untuk memeliharanya. Untuk mewujudkan peradaban itu
maka lingkungan pendidikan harus merefleksikan hakikat pluralistik dan
tantangan globalisasi.
Pola pendekatannya seharusnya
utuh dan menyeluruh. Maksudnya suatu perubahan tujuan dan obyek pendidikan.
Pendidikan tidak hanya sebatas pada hafalan, sehingga mencetak peserta didik
sebagai robot melainkan pendidikan yang langsung menyentuh apa yang hakiki
dalam hidup manusia seperti pendidikan hak asasi manusia, pendidikan
perkembangan, pendidikan lingkungan hidup pendidikan perdamaian dan pendidikan
jender.
Dengan kata lain pendidikan yang
mencakup pendidikan multikultural yakni soal keanekaragaman, keterbukaan, pluralitas,
kebudayaan, agama, perbedaan seksual dan identitas pribadi manusia. Pada titik
ini pendidikan multikultural menjadi urgen. Keadaban berbangsa akan tampak,
bila setiap pribadi semakin dewasa dalam upaya melestarikan pendidikan
multikultural. Karena itu pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem
kemanusiaan tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan pendidikan
multikultural.
Daftar pustaka
1. Antony Giddens, Run way World. Bagaimana globalisasi
merombak kehidupan kita, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999
2. Boston; Allyn & Bacon.,Introduction to multicultureal education,
Boston 2002
3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Analisis Kebudayaan, 1981/1982
4. Paulo Freire., Pedagogi Hati, Yogyakarta: Kanisius,2001
5. Paulus Mujiran., Kerikil-kerikil di masa transisi, ( Serpihan Esei
Pendidikan, Agama, Politik dan sosial ), Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2003
6. Harian Surat Kabar, Kompas, 23 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar